Minggu, 09 Januari 2011

Perhatikan Status Tanah Sebelum Beli Rumah

http://hermansah.wordpress.com/2008/12/03/perhatikan-status-tanah-sebelum-beli-rumah/

Tanah perumahan yang dikembangkan developer umumnya berasal dari banyak pemilik. Karena itu statusnya juga beraneka. Ada yang baru girik, ada yang sudah HGB (SHGB) dan hak milik (SHM), ada yang bahkan tidak dilengkapi dokumen. Setelah dibeli semua tanah itu disertifikatkan atas nama developer dengan status HGB. Inilah yang disebut sertifikat induk.
Saat tanah dikaveling-kaveling dan dipasarkan berikut bangunan, sertifikat induk itu dipecah atas nama konsumen, juga dengan status HGB. Dalam praktik SHGB bersama dokumen lain seperti IMB dan akta jual beli (AJB), diterima bank dari developer dalam 12 bulan sejak konsumen melunasi bea balik nama (BBN). Jadi, bila mengambil KPR berjangka dua tahun, bank bisa langsung menyerahkan sertifikat begitu kredit lunas.
Tapi, ada saja masalah yang membuat sertifikat belum bisa dipecah dan diserahkan developer ke bank. Misalnya, untuk menghemat biaya, pengurusan sertifikat dilakukan sekaligus setelah satu tahap pengembangan selesai melalui oknum kantor pertanahan dan bukan notaris/PPAT.
Sebelum rampung si oknum dimutasi ke bagian lain, sehingga data-data dan dokumen konsumen yang sudah diserahkan developer berceceran. Akibatnya, pengurusan harus diulang melalui oknum pejabat yang baru. Pemecahan sertifikat pun tertunda.
Direktur Utama PT Laguna Cipta Griya Alwi Bagir Mulachela menerangkan, hanya konsumen yang telah melunasi kewajibannya saja yang bisa memperoleh sertifikat. Setelah semua kewajiban dilunasi, secara otomatis bank yang memberikan kredit perumahan akan memberikan sertifikat tersebut kepada konsumen.
Namun sertifikat yang diberikan baru memiliki status hak guna bangunan. Ini karena sertifikat belum berganti nama kepada konsumen. Untuk memiliki sertifikat milik, konsumen harus mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Setelah disetujui barulah konsumen akan mendapatkan sertifikat milik," terangnya.
Alwi mengaku tidak mengetahui secara pasti butuh berapa lama bagi masyarakat untuk mengurus sertifikat milik. Tapi yang pasti, terangnya, kalau prosesnya berlarut-larut, berarti konsumen belum menyerahkan semua data yang diperlukan BPN. Karena biasanya, proses perubahan jenis sertifikat tidaklah sulit.
Sebenarnya setelah konsumen sepakat melakukan akitivitas jual-beli dengan pengembang, tidak lagi ada lagi kewajiban bagi pengembang untuk mengurus persoalan tersebut. Karena tanah dan bangunan tersebut telah dimiliki konsumen. Kalau konsumen mempergunakan jalur KPR untuk membayar rumah yang dibelinya, maka bank akan menyimpan sertifikat tersebut.
Bank tidak mungkin memberikan sertifikat kepada konsumen. Bila dilakukan, kemungkinan konsumen lalai membayar kewajibannya cukup besar. Padahal perbankan telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menalangi membayar rumah kepada pengembang.
Bila konsumen langsung membayar lunas, tentunya pengembang akan langsung memberikan sertifikat tersebut kepada konsumen. Kalau dalam jangka waktu yang telah ditentukan, pengembang belum menyerahkan sertifikat. Berarti, pengembang telah melanggar kewajibannya.
Ketua Asosiasi Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) DPD Jawa Timur Nurhadi, menuturkan, proses legalitas lahan itu telah terjadi kalau pengembang telah memiliki sertifikat. "Pengembang tidak mungkin bekerjasama dengan perbankan kalau perumahan yang dikembangkannya tidak memiliki sertifikat," jelasnya.
saat hendak membangun proyek di sebuah tempat, biasanya pengembang membebaskan berbagai jenis status lahan. Ada yang berstatus girik, tidak sertifikat, dan bahkan ada yang telah besertifikat. Setelah dibebaskan pengembang kemudian mengurus sertifikat tanah yang dibelinya ke BPN. Semuanya digabung dalam satu sertifikat sesuai dengan kegunaan masing-masing lahan. Misalkan saja ada yang diperuntukan untuk fasos, fasum dan perumahan itu sendiri.
Serfitikat yang dimiliki pengembang tersebut biasa disebut sertifikat induk. Jenis sertifikat biasanya adalah guna bangunan. Ini karena ketika mendaftar, pengembang mempergunakan bada hukum. Namun ketika konsumen membeli rumah, sertifikat tersebut dipecah lagi sesuai dengan kepemilikannya.
Tentunya ketika sebuah rumah dibeli konsumen, maka kepemilikannya juga akan berubah. Ketika hendak merubah status sertifikatnya, maka konsumen tidak lagi berhubungan dengan pengembang. Melainkan langsung berhubungan ke BPN. "Kalau membeli rumah melalui KPR, pengembang biasanya telah memecah sertifikatnya. Kalau tidak, perbankan tidak akan mau," jelasnya.
Hanya saja dia berharap pada masa depan, BPN lebih berpihak bagi pengembang yang membangun Rs Sehat. Diantaranya dengan meminimalkan biaya yang dikeluarkan pengembang dalam proses pengajuan sertifikat atau memecah sertifikat. Sebab selama ini, biaya yang dikenakan kepada pengembang yang membangun Rs Sehat dengan perumahan sederhana tidak jauh berbeda.
Dalam kesempatan itu, dia berharap, agar konsumen terlebih dahulu mempertanyakan legalitas perijinan atas rumah yang akan dibeli, baik izin lokasi pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan maupun ijin-ijin lainnya kepada pengembang. Setelah itu, konfirmasi informasi perijinan yang disampaikan pengembang kepada pemerintah
setempat dan perjelas apakah lokasi perumahan yang akan dibeli peruntukan lahannya sesuai dengan tata ruang tata wilayah yang ditetapkan pemerintah setempat.
Sementara Deputi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Yuswanda Arsyad Temenggung menjelaskan, pihaknya telah memiliki Standard Operating Procedure (SOP) dalam memecah sertifikat yang dimiliki pengembang. Proses yang dilakukan pengembang dalam memecah sertifikatpun tidak ada yang istimewa.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan pemecahan sertifikat adalah, pemohon harus menyertai alasan Pemecahan tersebut. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP). Sertipikat Hak Atas Tanah asli. Khusus bagi pengembang, harus juga menyertakan Site Plan kawasan pembangunan perumahannya.
Biaya yang diperlukan untuk kepentingan itu adalah Rp25.000,- dikalikan banyaknya sertipikat pemecahan yang diterbitkan. Sedangkan waktu yang diperlukan hanyalah tujuh hari kerja sama dengan satu bidang di luar waktu Pengukuran. Satu hari kerja sama dengan delapan jam.
Sedangkan bagi masyarakat yang hendak merubah status sertifikatnya dari hak guna bangunan menjadi hak milik, yang harus dilakukan adalah mengajukan surat Permohonan perubahan hak. Disertai dengan identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya dan dilegalisir pejabat yang berwenang. Biaya yang dikenakan hanya Rp50.000, dan membutuhkan waktu maksimal 10 hari kerja. (Seputar Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar